Kadang film di Nex perang terasa seperti nonton ulang sejarah versi Hollywood. Tapi yang satu ini beda. Bukan soal bendera, bukan soal kemenangan, tapi soal utang yang tak bisa dibayar dengan medali. Ada sesuatu yang lebih personal, lebih mentah. Seperti luka yang belum sempat dijahit tapi dipaksa dibuka lagi.
Cerita berputar pada dua sosok: seorang tentara asing dan penerjemah lokal. Mereka dipertemukan oleh situasi, bukan pilihan. Tapi dari situ, tumbuh hal yang lebih rumit dari sekadar relasi profesional. Ini soal janji. Tapi bukan janji manis. Lebih ke janji yang bikin kamu harus melintasi neraka buat menepatinya.
Ada satu bagian yang bikin dada sesak. Penerjemah itu, yang udah nolongin si tentara dari kematian, ditinggal. Gak ada visa. Gak ada suaka. Gak ada kabar. Hanya janji. Dan janji itu kayak bayangan di tengah gurun: selalu terlihat, tapi gak bisa disentuh.
Film ini gak nawarin pahlawan yang sempurna. Tokohnya rapuh, keras kepala, kadang bego juga. Tapi itu yang bikin mereka hidup. Ada momen di mana si tentara hampir nyerah. Duduk sendirian, rokok tinggal separuh, tatapan kosong. Tapi entah kenapa, kamu ngerti kenapa dia masih mau maju. Bukan demi negara. Tapi demi seseorang yang dulu nyelametin hidupnya.
Sinematografinya penuh debu. Serius. Debu di mana-mana. Tapi justru dari situ kamu ngerasain kekacauan yang gak bisa disusun rapi. Kamera sering goyang, kadang terlalu dekat, kadang terlalu jauh. Tapi gak pernah palsu. Rasanya seperti kamu sendiri ikut ngendap-ngendap di balik batu, nahan napas, berharap gak kepergok.
Dialognya juga hemat. Gak ada kalimat panjang yang sok puitis. Kadang cuman satu kata. Tapi kamu tahu, di balik satu kata itu, ada ribuan rasa yang ditahan. Seperti pas mereka ketemu lagi setelah sekian lama. Gak ada pelukan. Gak ada tangisan. Hanya tatapan. Tapi tatapan itu berbicara lebih banyak dari seribu dialog.
Musiknya gak nyolot. Kadang malah gak ada. Tapi justru sunyi itu yang bikin suasana makin ngeri. Ada adegan kejar-kejaran di malam hari, cuma suara langkah kaki dan napas yang tercekat. Dan itu cukup buat bikin kamu keringetan nonton dari kamar.
Yang bikin film ini nancep di kepala adalah keberaniannya buat gak nyenengin semua orang. Gak ada akhir bahagia yang rapi. Gak semua tokoh dikasih penutupan. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Hidup gak selalu beres. Kadang kita cuma bisa bertahan, dan itu udah cukup.
Ada satu adegan kecil yang gak banyak disorot. Si penerjemah duduk di loteng rumah kosong, mandangin foto keluarganya. Gak ada dialog. Cuma suara angin. Tapi itu mungkin salah satu bagian paling menyayat. Karena di situ kamu sadar: perang gak cuma ngambil nyawa. Kadang juga ngambil tempat pulang.
Dan ya, film ini gak cocok buat semua orang. Tapi kalau kamu mau sesuatu yang lebih dari sekadar ledakan dan patriotisme kosong, ini layak ditonton. Bukan karena spektakuler. Tapi karena jujur. Kadang jujur itu lebih menyakitkan daripada peluru.